OMED-OMEDAN SEBUAH TRADISI UNIK SAAT NGEMBAK GENI
Omed-omedan atau juga
disebut Med-medan rutin digelar setiap tahun, sehari setelah hari raya
Nyepi atau yang disebut sebagai hari Ngembak Geni. Konon, acara ini
sudah diwariskan sejak tahun 1900-an dan hanya bisa ditemukan di Banjar
Kaja Sesetan. Warga setempat meyakini, bila acara ini tak
diselenggarakan, dalam satu tahun mendatang berkah Sang Dewata sulit
diharapkan dan berbagai peristiwa buruk akan datang menimpa. Pernah pada
1970-an ditiadakan, tiba-tiba di pelataran Pura terjadi perkelahian dua
ekor babi. Mereka terluka dan berdarah-darah, lalu menghilang begitu
saja. Peristiwa itu dianggap sebagai pertanda buruk bagi semua warga
Banjar.
SEJARAH OMED-OMEDAN
Wayan Sunarya tokoh masyarakat di Banjar
Kaja Sesetan menceritakan, tradisi omed-omedan itu merupakan tradisi
leluhur yang sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda. Awalnya
ritual ciuman massal itu dilakukan di Puri Oka. Puri Oka merupakan
sebuah kerajaan kecil pada zaman penjajahan Belanda.
Ceritanya, pada suatu saat konon raja
Puri Oka mengalami sakit keras. Sang raja sudah mencoba berobat ke
berbagai tabib tapi tak kunjung sembuh. Sehari setelah Hari Raya Nyepi
(saat Ngembak Geni), masyarakat Puri Oka menggelar permainan
omed-omedan. Saking antusiasnya, suasana jadi gaduh akibat acara saling
rangkul para muda-mudi. Raja Puri Oka yang saat itu sedang sakit pun
marah besar karena keriuhan dan keributan yang diakibatkan oleh suara
Muda-Mudi yang mengikuti acara Omed-Omedan tersebut. Dengan berjalan
terhuyung-huyung raja keluar dan melihat warganya yang sedang
rangkul-rangkulan. Anehnya, ketika melihat adegan yang panas itu,
tiba-tiba raja tak lagi merasakan sakitnya. Ajaibnya lagi raja kembali
sehat seperti sediakala.
Raja lalu mengeluarkan titah agar
omed-omedan harus dilaksanakan tiap tahun sekali, yaitu sehari setelah
Hari Raya Nyepi (pada saat Ngembak Geni). Namun pemerintah Belanda yang
waktu itu menjajah gerah dengan upacara itu. Belanda pun melarang ritual
permainan muda-mudi tersebut. Warga akhirnya tidak menggelar
omed-omedan. Namun, setelah omed-omedan tidak dilaksanakan lagi,
tiba-tiba ada 2 ekor babi besar berkelahi di tempat omed-omedan biasa
digelar. “Akhirnya raja dan rakyat meminta petunjuk kepada leluhur.
Setelah itu omed-omedan dilaksanakan kembali sehari setelah Hari Raya
Nyepi”Pawai Ogoh-ogoh, Sebuah Tradisi Masyarakat Bali Menjelang Pergantian Tahun Caka
Saya kembali menyaksikan tradisi menjelang hari Raya Nyepi yang jatuh pada tanggal 12 Maret 2013 tahun ini, setelah beberapa tahun absen. Tradisi tersebut selalu ada satu hari menjelang hari pergantian tahun kalender Bali. Dan tradisi itu selalu dinantikan, baik oleh penduduk Bali maupun para turis mancanegara dan domestik yang sengaja datang menjelang tahun baru Caka.
Beberapa minggu sebelumnya, masing-masing banjar sudah memulai persiapan pembuatan patung. Penduduk Banjar akan membuatnya secara bersama-sama. Antar Banjar akan saling berupaya membuatnya sebagus mungkin, menunjukkan kreasi penciptaannya. Sedangkan biaya pembuatannya mendapat subsidi dari Pemerintah Daerah Bali. Namun, terkadang Banjar harus menombok bila biayanya melebihi subsidi yang diberikan.
Patung tersebut nantinya akan diarak di jalan-jalan, diiringi Baleganjur ataupun musik lainnya. Bergoyang-goyang karena putaran oleh pembawanya ataupun karena guncangan pada tatakan bambu di bawahnya. Patung tersebut akan berjalan beriringan satu sama lain menghasilkan barisan pawai. Inilah yang disebut parade Ogoh-ogoh, suatu tradisi unik malam sebelum pergantian tahun Bali.
Siang hari sebelum pawai Ogoh-ogoh berlangsung, patung-patung tersebut berdiri di pinggir jalan selayaknya pagar ayu dan pagar bagus yang menyambut tamu. Bersiap-siap untuk diarak keliling oleh para pembawanya.
Ponakan saya begitu antusias setiap kali ia melihat Ogoh-ogoh di pinggir jalan. “Tante…itu dia ! Itu dia ogok-ogok,” celotehnya lucu meskipun tak bisa menyebutnya dengan benar. ”Wooo…besar tante ogok-ogoknya,’ ucapnya sambil tertawa senang, menceritakan pada saya. Papa dan mamanya serta tentu saja saya, tertawa mendengar riuhnya suara si kecil yang berusia 3 tahun. Ia sangat bersemangat menoleh ke kanan dan kiri, melihat keluar jendela mobil yang melaju dengan pelan.
Kami dalam perjalanan menuju hotel pilihan, tempat kami menginap selama 3 hari 2 malam. Mengambil paket Nyepi yang juga banyak ditawarkan oleh hotel lainnya di Bali. Sengaja memilih hotel yang letaknya tepat di pinggir jalan raya besar, demi menyenangkan hati ponakan saya yang imut. Jalan besar tersebut akan dilalui pawai Ogoh-ogoh malam harinya.
Menjelang magrib, ponakan saya sudah tak sabar untuk melihat pawai Ogoh-ogoh. Ia terus saja menanyakan pada saya dan mamanya. Kami pun akhirnya keluar hotel, menuju jalan raya sekitar pukul 19.30 wita. Telah banyak orang yang menanti di pinggir jalan, sama halnya dengan keinginan kami untuk menonton pawai Ogoh-ogoh.
Beberapa lampu dari toko-toko di pinggir jalan telah padam. Mungkin karena karyawannya telah pulang dan menutup toko. Beberapa lainnya masih menerangi sekitarnya. Kakak, saya dan kedua ponakan menunggu di suatu teras ruko. Ketika terdengar suara musik di kejauhan, kami lantas mendekati pinggir jalan. “”Itu dia mama ! Ayo…ayo kakak, ayo tante !” Ponakan kecil seolah ingin berlari menontonnya. Saya hanya bisa senyum-senyum melihat tingkah polahnya yang menggemaskan.
Saya merasakan dan melihat banyaknya perubahan pada Ogoh-ogoh saat ini. Terlihat lebih bagus dan lebih hidup. Bentuknya tidak hanya berwujud raksasa atau butha kala, tapi juga berbentuk tokoh pewayangan, tokoh kartun ataupun pahlawan berkekuatan super. Padahal dulu ketika pertama kali saya melihatnya antara tahun 1997 - 1998, bentuknya begitu menyeramkan, besar, memiliki taring dan terkadang berwarna selain warna kulit manusia seperti merah dan hijau. Ini merupakan perwujudan dari mahkluk-mahkluk jahat. Dalam satu tandu bisa terdapat beberapa patung yang bertumpuk ataupun saling bertarung.
Musik yang mengiringi Ogoh-ogoh saat ini jauh berbeda dengan dulu yang berupa musik baleganjur, kesenian gending Bali. Ogoh-ogoh yang berada di atas rakitan bambu itu diiringi dengan speaker dan musik hingar bingar ala aringkingkingking atau musik dugem. Memang masih ada beberapa Banjar yang menggunakan musik kesenian Bali, namun lebih banyak yang menggunakan musik berdentam-dentam.
Dulu orang beramai-ramai memanggul Ogoh-ogoh, memutar-mutarnya, membawanya ke kanan dan kiri serta sengaja mengangkat atau menurunkan sebagian sisi dari tandu bambu, mengikuti iringan musik. Hal itu memberikan efek terhadap patung yang berada di atas, bergerak seolah menari. Belum lagi lingkungan sekitar menciptakan suasana yang mencekam dengan padamnya lampu di pinggir jalan. Lampu dibuat menyinari sebagian sisi ataupun anggota tubuh Ogoh-ogoh untuk memberikan efek seram. Hanya ada obor api yang menerangi jalannya para Ogoh-ogoh. Dan orang-orang yang memanggulnya berpakaian hitam-hitam. Suasana magis pun tercipta. Masyarakat Bali percaya bahwa dengan membunyikan berbagai bunyi-bunyian, menyalakan api dan mengusung ogoh-ogoh pada malam sebelum hari Raya Nyepi, akan mengusir arwah-arwah jahat.
Sedangkan saat ini yang saya lihat, Ogoh-ogoh kebanyakan tidak dipanggul lagi. Melainkan tandu bambu yang membawanya, diletakkan di atas gerobak roda yang dihias. Orang tidak perlu repot lagi membawanya, namun cukup mendorong gerobaknya saja. Sesekali akan diputar atau didorong ke kanan dan kiri. Sebagian orang juga akan menggoyangkan rakitan bambu agar Ogoh-ogoh di atasnya bergerak-gerak. Beberapa Ogoh-ogoh masih ada yang disinari lampu untuk memberikan kesan seramnya sebagai arwah jahat. Dan orang-orang yang berasal dari Banjar dimana Ogoh-ogoh dibuat, tak selalu mengenakan pakaian hitam. Saya sempat melihat satu barisan pawai dimana orang-orangnya mengenakan rompi berwarna di atas kaos hitam. Rompi tersebut menunjukkan produk perusahaan yang mensponsorinya.
Seingat saya, dahulu Ogoh-ogoh hanya dibawa oleh orang dewasa. Namun yang saya lihat di pawai kemarin, ada pula Ogoh-ogoh yang dibawa oleh anak-anak. Ogoh-ogohnya pun kecil, berbentuk hanoman. Anak-anak tersebut sangat bersemangat membawanya, seperti halnya ponakan saya yang bersemangat menontonnya. Mereka berteriak, dan menggoyang-goyangkannya sedemikian rupa. Namun semangat ini kemudian luntur ketika mereka capai. Pada akhirnya saat perjalanan pulang, Ogoh-ogoh mini tersebut dibawa oleh beberapa wanita, ibu dari anak-anak tersebut.
Setelah pawai usai, semua Ogoh-ogoh akan dibawa kembali ke masing-masing Banjar. Ogoh-ogoh tersebut nantinya akan dibakar setelah hari Raya Nyepi.
Perubahan lainnya mengenai Ogoh-ogoh adalah bahan pembuatannya yang semakin berkembang. Lebih memudahkan dan ringan. Informasi yang saya peroleh dari seorang teman, bahwa bahan pembuatan Ogoh-ogoh kini dari bahan steorofom. Bahan tersebut membungkus rangka besi yang bisa diatur/dibengkokkan sesuai keinginan. Sedangkan dulu, terbuat dari bahan koran. Koran tersebut melapisi rangka bambu yang dianyam menjadi bentuk-bentuk anggota badan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar